Biar rebah...Jangan berubah...Biar terbuang...Terus berjuang

Wednesday 5 December 2012

Deria ke 6








"Dan barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya."
(QS. Al-Israa’ [17]: 72)


Mendengar kata ‘indera keenam’ pasti yang terbayang dalam benak kita adalah orang-orang sakti yang memiliki ilmu psikik yang tinggi, boleh melihat apa yang orang lain tidak boleh lihat, dan dapat merasakan apa yang orang lain tidak rasakan.

Manusia sebenarnya memiliki enam indera. Namun yang kita tahu selama ini hanyalah lima indera saja atau yang biasa disebut ‘panca indera’. Fungsi dan mekanisme kerja indera keenam dan panca indera sangat berbeza.

Panca indera terdiri daripada mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Mata, digunakan untuk melihat. Hanya dapat melihat sesuatu apabila ada cahaya. Secara fisikal, benda dapat kita lihat kerana benda tersebut memantulkan cahaya ke mata kita. Jika tidak ada pantulan cahaya, meskipun di depan kita ada suatu benda, benda tersebut tidak akan dapat kita lihat. Misalnya dalam kegelapan, kita bahkan tidak akan mampu melihat tangan kita sendiri. Maka bersyukurlah kepada Allah SWT karena diberikannya sinar atau cahaya.

Indera penglihatan ini memiliki keterbatasan. Ia hanya mampu melihat jika ada pantulan cahaya pada frekuensi 10 pangkat 14 Hz. Mata tidak boleh melihat benda yang terlalu jauh. Tidak boleh melihat benda yang terlampau kecil seperti sel-sel ataupun bakteria. Juga tidak boleh melihat benda yang ada dibalik tembok. Bahkan mata kita sering ‘tertipu’ dengan berbagai kejadian (ilusi optik).

Misalnya pada siang hari yang terik, dari kejauhan terlihat air yang mengeluarkan wap di atas jalan yg panas. Namun apabila kita mendekat ternyata yang kita lihat sebenarnya tidak wujud. Ini yang kita sebut fatamorgana. Tipuan lain adalah pembiasan benda lurus dalam air, sehingga benda tersebut kelihatan bengkok. Bintang yang kita lihat di langit sangat kecil ternyata sungguh sangat besar, dan lebih besar dari bumi yang kita duduki. Malah sebenarnya bintang itu sudah mati dan tiada tapi masih kelihatan kerana cahaya yang baru sampai sesudah melalui perjalanan yang sangat jauh walaupun dengan kelajuan cahaya. (nak cerita luasnya alam yang ALLAH cipta ni...)


Penglihatan oleh mata kita sangat kondisional, seringkali tidak ‘menceritakan’ keadaan yang sesungguhnya pada otak kita. Bukti-bukti di atas memberikan gambaran bahwa indera mata kita mengalami distorsi alias penyimpangan yang sangat besar. Namun, mata inilah yang kita gunakan untuk melihat dan memahami dunia nyata yang ada di luar diri kita. Mata pun tidak boleh melihat apa yang ada dalam diri kita sendiri dan yang ada dalam diri orang lain. Apa yang orang lain fikirkan dan rasakan tidak boleh dilihat oleh mata. Mata sungguh sangat terbatas.


Namun keterbatasan ini harus pula kita syukuri. Bayangkan saja apabila mata kita boleh melihat benda yang sangat halus seperti bakteria ataupun virus. Maka kita tidak akan mampu makan dengan tenang dan nikmat, sebab semua makanan yang kita makan mengandung bakteria dan kuman yang bentuknya sangat menyeramkan.

Atau seandainya mata kita tidak terbatas, maka kita akan bisa melihat setan-setan dan jin-jin yang berkeliaran di sekitar kita, dapat melihat orang di balik tembok, dapat melihat proses pencernaan yang terjadi dalam tubuh kita sendiri sehingga menjadi kotoran. Sungguh kehidupan kita akan sangat menyeramkan.

Indera selanjutnya adalah telinga.

Ia merupakan organ tubuh yang digunakan untuk mendengarkan suara. Telinga hanya bisa mendengar suara pada frekuensi 20 s/d 20 ribu Hz. Suara yang memiliki frekuensi tersebut akan menggetarkan gendang telinga kita, untuk kemudian diteruskan ke otak oleh saraf-saraf pendengar. Hasil dari interpretasi otak, suara dapat ditandai dan diketahui. Apabila suara getarannya dibawah 20 Hz maka suara tidak bisa didengar, dan apabila melebihi 20 ribu Hz maka suarapun tidak akan mampu didengar dan bahkan gendang telinga akan pecah @ rosak.

Telinga kitapun memiliki keterbatasan sebagaimana mata. Allah SWT memberikan batasan pendengaran pada kita sebagai kurnia dan rahmat yang harus pula kita syukuri. Bayangkan jika pendengaran kita tidak dibatasi, kita akan mendengarkan suara-suara binatang malam, kita juga boleh mendengarkan suara jin sedang bercakap-cakap, dan lain sebagainya, maka hidup kitapun tidak akan tenang.

Indera yang ketiga adalah hidung.

Indera ini digunakan untuk merasakan bau. Di dalam rongga hidung terdapat saraf-saraf yang akan menerima rangsangan bau yang masuk. Selanjutnya saraf menghantarkannya ke otak untuk diterjemahkan. Sebagaimana mata dan telinga, hidung juga memiliki keterbatasan kemampuan. Contohnya, apabila hidung sering merasakan bau busuk maka kepekaannya terhadap bau busuk akan hilang. Misalnya kita tinggal di lingkungan yang banyak sampah berbau busuk. Awalnya kita amat terganggu dan tidak tahan dengan bau tersebut, namun lama kelamaan kita tidak akan merasakan bau busuk tersebut. (bukan sbb bau tu dah xda..tapi sebb hidung kita dah lali..reseptor yg mengesan bau tu dah xleh berfungsi)

Indera keempat dan kelima adalah lidah dan kulit. Lidah digunakan untuk mengecap rasa, sedangkan kulit untuk merasakan kasar, halus, panas, dingin, dan lain-lain. Kedua indera inipun memiliki keterbatasan dalam memahami fakta yang ada di luar dirinya. Kalau kulit kita dibiasakan dengan benda kasar terus dalam kurun waktu yang lama, maka kepekaan kulit kita untuk memahami benda yang halus juga akan berkurang. Begitu juga dengan kemampuan lidah kita. Dalam kondisi tertentu, misalnya kita terbiasa dengan makanan pedas, maka lidah tidak akan merasakan enaknya makanan yang tidak terasa pedas.

Dengan berbagai penjelasan di atas tidak diragukan lagi bahwa lima indera yang kita miliki semuanya serba terbatas, kondisional, dan seringkali tertipu oleh hal-hal yang sebenarnya jelas namun terinterpretasi secara tidak jelas.


Sebenarnya manusia memiliki indera yang lebih hebat lagi dibandingkan dengan panca indera. Itulah indera keenam.


Setiap orang memiliki indera keenam yang bisa berfungsi melihat, mendengar, merasakan, dan membau sekaligus. Indera tersebut yakni hati kita. Akan tetapi beberapa potensi fungsi hati di atas tidak pernah mampu kita maksimalkan. Kenapa? karena memang kita tidak pernah melatihnya.

Manusia terlahir sudah memiliki indera keenam yang berfungsi dengan baik. Kerana itu seorang bayi dapat melihat ‘dunia dalamnya’. Ia menangis dan tertawa sendiri karena melihat ada ‘dunia lain’. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya waktu, kemampuan indera keenam tersebut menurun drastik.

Sebabnya adalah orang tua kita tidak melatih indera keenam kita. Mereka lebih melatih panca indera kita untuk memahami dunia luar. Orangtua kita sangat risau apabila kita tidak bisa menggunakan panca indera kita dengan baik. Namun sebenarnya kemampuan penginderaan hati kita jauh lebih dahsyat.

Hati kita mampu merasakan, melihat, dan mendengar apa yang tidak dirasakan, dilihat, dan didengar oleh panca indera. Kita bisa ‘kenalan’ dengan Allah SWT hanya dengan cara mengaktifkan fungsi hati kita dengan baik. Kita bisa melihat Allah hanya dengan hati kita, bukan dengan mata. Kita bisa merasakan adanya Allah bukan dengan kulit kita, namun dengan hati.

Allah SWT sudah mengingatkan kita dalam Alqur’an akan pentingnya menghidupkan hati, dalam Alqur’an surat Al-Israa’ [17] ayat 72 disebutkan:

“dan barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya”.

Rasulullah SAW pernah mengingatkan para sahabat akan pentingnya mengaktifkan fungsi hati sebagai raja bagi kehidupan. Apabila kita menjadikan akal kita sebagai raja dan hati menjadi pengawalnya, maka tunggulah kehancuran hidup kita.

Hati kita akan tertutup dengan titik2 hitam sehingga kita tidak mampu mengenal Allah. Akal menjadi raja untuk diri kita karena kita membiasakan diri menilai kebahagiaan hidup hanya melalui apa yang dirasakan di dunia ini saja. Yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dirasakan oleh lidah dan kulit, semuanya diinterpretasikan di otak (akal).

Sehingga kitapun lebih memercayai rsional, logika dan nalar kita untuk mengukur kebahagiaan hidup. Pola ini akan membawa kita pada pola hidup yang bersandalkan akal dan mengesampingkan hati nurani. Banyak orang yang pintar dan cerdas dalam menguasai suatu ilmu namun kering akan ruhani ketuhanan.

Mereka tidak mampu melihat sesuatu yang metafisik, sesuatu dibalik segala ciptaan yang tak terbatas. Mereka akhirnya juga tidak mampu mereguk nikmatnya ibadah dan tidak mampu merasakan kehadiran Allah SWT.

Berbeza halnya apabila hati kita yang menjadi raja bagi diri kita. Kita akan dapat merasakan kehadiran Allah SWT dalam hidup kita. Dalam kehidupan sosial, kita juga bisa merasakan apa yang orang lain rasakan (peka). Oleh karena itu jadikanlah hati sebagai raja bagi diri kita.
Orang yang tidak melatih hatinya saat hidup di dunia – sehingga hatinya tertutup – maka mereka akan dibangkitkan oleh Allah SWT di akhirat nanti dalam keadaan buta.

Dalam surat Thahaa [20] ayat 124 disebutkan:

“Barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.

Lalu, bagaimanakah cara melatih hati kita untuk bisa ‘melihat’ Allah SWT? Mari kita

1. menuntut ilmu demi mengharap ridha Allah SWT,

2. bekerja karena Allah SWT, sholat, puasa, bersedekah, dzikir, do’a, dan semua bentuk ibadah adalah karena Allah SWT, dengan hati yang tulus dan ikhlas.

Insya Allah kita akan bisa melihat Allah SWT di dunia ini dan juga di akhirat kelak.

No comments:

Post a Comment